Liputan Cyber || Surabaya

Dunia pendidikan di Kota Surabaya sudah tidak baik-baik saja. Pasalnya, program Indonesia Pintar (PIP) yang seharusnya dapat membantu para siswa kurang mampu harus dipotong oleh pihak sekolah SD Bustanul Huda di Jalan Simolawang Surabaya dengan alasan untuk administrasi.
Bantuan PIP dari pemerintah sebesar Rp.450.000 (empat ratus lima puluh ribu rupiah) harus dipotong oleh pihak sekolah sebesar Rp.30.000 (tiga puluh ribu rupiah).
Tidak hanya itu saja, kartu penarikan uang yang seharusnya dipegang oleh siswa atau orang tua siswa, malah dipegang oleh pihak sekolah.
Ketika pihak sekolah didatangi Tim Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Triga Nusantara (Trinusa) diarahkan ke bendahara sekolah berinisial EF. Saat dikonfirmasi mengenai potongan bantuan PIP milik siswa SD yang terjadi, EF mengakui pemotongan Dana PIP milik siswanya.
“Kalau PIP dapat Rp450.000, kami potong Rp30.000 untuk administrasi,” ujar EF saat dikonfirmasi Tim LSM Trinusa, Rabu 13 Agustus 2025.
Lebih mengejutkan, seorang narasumber yang enggan disebut namanya menyampaikan bahwa kartu penerima PIP para siswa justru dipegang oleh guru, bukan oleh orang tua atau siswa penerima.
Selain dugaan pungli pada dana PIP, sekolah ini juga diduga memungut biaya lain yang melanggar ketentuan, antara lain :
– Penjualan buku Lembar Kerja Siswa (LKS)
– Biaya pendaftaran ulang sebesar Rp125.000
– Iuran ekstrakurikuler
– Biaya operasional ujian Rp30.000 setiap tiga bulan (total Rp120.000 per tahun)
Padahal, Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 secara tegas melarang sekolah, baik negeri maupun swasta, membebankan biaya yang menghambat akses pendidikan, khususnya bagi siswa penerima bantuan pemerintah.
*Dugaan Pelanggaran :*
1. Pungutan liar (pungli) terhadap dana PIP yang bersumber dari APBN.
2. Pelanggaran Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, yang melarang pungutan wajib kepada peserta didik.
3. Penyalahgunaan wewenang dengan menahan kartu penerima PIP, berpotensi melanggar prinsip transparansi dan hak siswa.
4. Praktik jual-beli LKS yang telah dilarang oleh kebijakan pemerintah.
Kasus ini berpotensi masuk dalam ranah tindak pidana korupsi karena menyangkut dana bantuan langsung dari pemerintah untuk siswa tidak mampu. Aparat penegak hukum dan Dinas Pendidikan diharapkan segera turun tangan untuk melakukan investigasi mendalam demi melindungi hak-hak siswa. (Redaksi)

