Liputan Cyber || Jatim
Saat Pancaroba di akhir dan awal tahun, fenomena populer di pemukiman manusia meningkat. Perubahan musim, ketersediaan makanan yang berlimpah, serta perilaku migrasi alami menjadi faktor utama yang mendorong keluarnya ular dari habitat aslinya. Inilah yang terjadi di Kabupaten Tuban pada akhir tahun 2024 hingga awal 2025, di mana puluhan Ular Sanca Kembang (Malayopython reticulatus) berkeliaran di berbagai lokasi permukiman, memicu kekhawatiran warga.
Kepala Balai Besar KSDA Jawa Timur, Nur Patria Kurniawan, Rabu (19/2/2025) dalam keterangannya mengatakan, Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Tuban, yang selama ini menangani laporan warga terkait keberadaan ular, telah mengumpulkan puluhan ekor sanca dari berbagai lokasi. Ular-ular tersebut bukan sekedar pengganggu yang bisa dipindahkan sembarangan. Sebagai predator alami yang mengendalikan populasi hewan pengerat, mereka memiliki peran krusial dalam keseimbangan ekosistem. Oleh karena itu, upaya penyelamatan dan relokasi harus dilakukan dengan hati-hati oleh pihak yang berwenang.
Pada tanggal 18 Februari 2025, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur (BBKSDA Jatim) melalui Seksi KSDA Wilayah (SKW) II Bojonegoro dan Wildlife Rescue Unit (WRU) melakukan evakuasi besar-besaran. 51 ekor ular sanca yang sebelumnya ditempatkan di kandang transit Dinas Pemadam Kebakaran Tuban, diangkut ke fasilitas rehabilitasi WRU BBKSDA Jatim untuk menjalani pemantauan kesehatan dan persiapan pelepasliaran ke habitat yang lebih aman.
Namun, ular bukan satu-satunya satwa yang menimbulkan interaksi negatif antara manusia dan satwa liar. Dua ekor Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis ) juga turut menyelamatkan. Primata ini sering kali terpaksa masuk ke pemukiman akibat semakin menyusutnya habitat mereka, yang berakhir pada interaksi yang tidak diinginkan dengan manusia.
Atau, korban orang-orang tidak bertanggung jawab yang bermodalkan kata sayang ketika primata tersebut masih kecil dan imut, namun ketika dewasa dan menunjukkan sisi keliarannya dibiarkan di sembarang tempat yang pada akhirnya menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. Kini, mereka telah diserahkan dan di translokasi ke WRU BBKSDA Jatim untuk mendapatkan perawatan dan rehabilitasi sebelum dilepasliarkan kembali ke alam.
Fenomena kemunculan ular di akhir dan awal tahun bukanlah kejadian yang acak. Perubahan musim dari kemarau ke hujan atau sebaliknya memaksa ular mencari tempat yang lebih kering, sementara melimpahnya populasi mangsa seperti tikus dan burung membuat mereka lebih aktif berburu.
Beberapa spesies juga melakukan perpindahan untuk mencari habitat yang lebih sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Perubahan suhu, kelembaban, dan ketersediaan udara juga menjadi faktor yang mempengaruhi perilaku mereka.
Penyelamatan ini bukan hanya sekedar memindahkan satwa dari satu tempat ke tempat lain, tetapi juga menjadi bukti pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam mitigasi konflik manusia-satwa. Keberhasilan tersebut menunjukkan bahwa dengan pendekatan yang tepat, manusia dan satwa liar dapat hidup berdampingan tanpa harus saling mengancam.
Konservasi bukan hanya tentang melindungi spesies langka di suatu kawasan, tetapi juga tentang memahami dan menghormati kehidupan pembohong yang berbagi ruang dengan kita. (Red)