Liputan Cyber || Jakarta
Pada hari Senin, 23 September 2024 berlokasi di Sekretariat Dewan Pengurus Pusat Serikat Petani Indonesia (DPP-SPI), Partai Buruh menyelenggarakan konferensi pers dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional 2024. Adapun Narasumber dalam konferensi pers ini Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia dan Ferry Nuzarli, Sekretaris Jenderal Partai Buruh.
Pada Hari Tani Nasional ke-64 ini, Partai Buruh dan Serikat Petani Indonesia menyatakan sikap bahwa “Reforma Agraria Dimanipulasi, Langgar Konstitusi”.
Menurut Henry Saragih, sikap ini diambil berdasarkan pandangan Partai Buruh terhadap kinerja dari Pemerintahan Joko Widodo selama 2 periode ini.
Menurutnya, reforma Agraria dimanipulasi pada kegiatan bukan merombak struktur agraria yang timpang, justru memperlebar ketimpangan agraria itu sendiri
“UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) tidak di jadikan sebagai rujukan dari kebijakan dan pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Demikian juga UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Sebaliknya pemerintah mengeluarkan UU yang bertentangan melalui UU Cipta kerja (Omnibus Law) yang isinya bukan saja semakin mengekloitasi pekerja tapi juga petani, dan rakyat” tutur Henry.
Menurut Henry, reforma agraria satu dekade ini justru diarahkan hanya melegalisasi penguasaan kepemilikan tanah yang sudah timpang melalui project sertifikasi tanah, dan menjadi jalan korporasi-korporasi besar menguasai tanah dengan atas nama project strategis nasional (PSN), serta atas nama perubahan iklim jutaan hektar tanah rakyat dijadikan hutan konservasi dan restorasi sebagai komoditas perdagangan karbon.
Henry juga menyampaikan bahwa ini konflik agraria semakin meningkat, karena perampasan tanah rakyat semakin meluas, dan konflik agraria yang sudah ada selama ini tidak ada penyelesaian yang luas dan komprehensif.
Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI dan Kantor Staf Kepresidenan RI, terdapat 1.385 kasus pengaduan masyarakat terkait konflik agraria selama tujuh tahun terakhir (2016-2023). Dari angka tersebut, 70 lokasi telah ditetapkan sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA). Sampai dengan Februari 2024, capaian redistribusi tanah dan penyelesaian konflik pada LPRA baru sebanyak 24 LPRA (14.968 bidang/5.133 Ha untuk 11.017 KK). Jadi masih ada 46 LPRA yang belum selesai dan 1.361 lokasi aduan konflik agraria yang mangkrak.
Henry juga menyatakan, bahwa jumlah petani gurem dan rakyat yang tak bertanah semakin meningkat selama 10 tahun terakhir ini.
“Petani gurem dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektare mengalami lonjakan dalam satu dekade terakhir, dari 14,24 juta pada tahun 2013 menjadi 16,89 juta rumah tangga pada tahun 2023” tutur Henry
Henry menutup pernyataannya dengan menyatakan bahwa kedaulatan pangan semakin menjauh, karena tanah pertanian (sawah) dan hutan-hutan di konversi untuk tanaman ekspor, dan kebutuhan pangan semakin besar diimpor setiap tahunnya selama 10 terakhir ini.
Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut, maka Partai Buruh dan Serikat Petani Indonesia menuntut beberapa hal yang amat penting untuk dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia yang akan datang.
Ferri Nuzarli, Sekretaris Jenderal Partai Buruh, menegaskan bahwa reforma agraria harus diarahkan pada upaya merombak pada struktur penguasaan agraria yang timpang.
“Pemerintah harus memastikan land reform yakni membagikan tanah untuk rakyat yang tak bertanah, petani gurem untuk usaha-usaha pertanian, pembudidaya dan petambak perikanan untuk kedaulatan pangan, maupun untuk perumahan dan pemukiman serta fasilitas sosial bagi rakyat” ungkap Ferri.
Ferri juga menyatakan bahwa Partai Buruh menuntut pemerintah untuk menghentikan segala Proyek Strategis Nasional (PSN) yang menggusur tanah rakyat, dan membabat hutan hujan Indonesia, seperti project food estate, dan real estate, sekaligus pemberhentian pasar tanah melalui lembaga Bank Tanah, dan pemberian HGU/HGB/Hak Pakai kepada korporasi, bahkan orang asing yang diusung oleh IMF World Bank dan bersifat Kapitalis dan Neo-Liberal.
Ferri juga menyampaikan bahwa reforma agraria harus dijalankan berdasarkan Konstitusi UUD NRI 1945. Karena itu, UU Cipta Kerja harus secepatnya dicabut.
“Reforma Agraria harus dilaksanakan berdasarkan Konstitusi yakni sesuai dengan pasal 33 UUD NRI 1945, dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, serta TAP MPR No. IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, dan ini diperkuat dengan harus dicabutnya UU Cipta kerja karena undang-undang ini melanggar Konstitusi; menghalangi dilaksanakannya reforma agraria”, Ferry menjelaskan.
Ferry menambahkan bahwa pemerintah harus menghentikan segala bentuk kriminalisasi dan diskriminasi terhadap petani. Ia menyatakan bahwa pemerintah harus melindungi hak asasi petani baik itu berdasarkan UU Perlindungan Petani No 19 tahun 2013 dan berdasarkan Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan orang-orang yang bekerja di pedesaan (United Nations Declaration on the Rights of Peasant and Other People Working in Rural Areas).
“Kami akan menyampaikan sikap dan tuntutan kami melalui aksi yang akan diselenggarakan pada hari Selasa, 24 September 2024 di depan Istana Negara dan DPR RI. Kami akan terus berjuang sampai kemenangan bagi rakyat Indonesia, menuju negara sejahtera, mencapai keadilan, kamamuran, dan kesejahteraan.” Tutup Ferri. (Redaksi)