Pameran Lukisan Bertajuk ‘Doa Kasih Rupa’ Hiasi Taman Budaya Jawa Timur

Liputan Cyber || Jatim

Galeri Seni Prabangkara yang berlokasi di dalam Taman Budaya Jawa Timur Surabaya, nampak berbeda dari biasanya karena dihiasi suatu pameran lukisan bertajuk ‘Doa Kasih Rupa’ yang berlangsung selama enam hari dari Sabtu hingga Kamis (1-6/2/2025). Pameran ini menyiratkan pesan bahwa seni tidak hanya sebatas ekspresi visual keindahan tetapi juga doa yang dilayangkan berwujud rupa hasil dari kreatifitas.

 

Pameran diadakan oleh suatu komunitas seniman dan perupa bernama Komunitas Ilustrasi Idiom yang menghadirkan puluhan karya daru total 18 perupa lokal. Wakil Ketua Komunitas Ilustrasi Idiom, bernama Ridwan SS menyampaikan doa tidak selalu harus berupa bahasa verbal, namun juga dapat mengalir melalui karya dengan menggunakan kanvas, garis, dan warna, membentuk makna yang lebih dalam dari sekadar keindahan visual, melainkan menjadi refleksi dari kondisi sosial yang pelaku seni rasakan

 

“Kita sehari-hari berdoa, kan? Tapi di sini, kami mencoba memanjatkan doa dalam bentuk lukisan. Selama gambar itu tidak luntur, selama itu pula doa kami terus mengalun,” ucap Ridwan, di Surabaya, Kamis (6/2/2025).

 

Ridwan mengatakan, pihaknya dan para seniman lain memilih pendekatan yang lebih tenang dalam menyampaikan keresahan terhadap situasi sosial, lingkungan hingga politik tanah air yang terjadi belakangan ini.

 

“Karena ini masih awal tahun ya, jadi kita ingin buka dengan lebih ringan. Namun, meski pembawaannya lebih dingin, pameran ini tetap bertujuan mengkritik, hanya saja kali ini lebih sopan. Sesuai dengan tajuk yang diangkat, kami mengemas keresahan tersebut dalam sebuah doa dan harapan akan masa depan yang lebih baik,” jelas Ridwan.

 

Salah satu bentuk kritik yang muncul dalam pameran ini tertuang dalam karya dari Ridwan sendiri yang bertajuk “Lembah Baliem”. Ia menerangkan, lukisan karyanya itu adalah wujud keresahan dirinya atas isu lingkungan yang kembali mencuat sejak akhir 2024, seperti eksploitasi sumber daya alam dan kontroversi pagar laut di pesisir Tangerang.

 

“Seperti yang kita tahu, isu pagar laut, eksploitasi sumber daya, dan deforestasi makin menjadi. Maka saya memilih semesta dan lingkungan sebagai subjek doa saya,” terang Ridwan.

 

“Lukisan saya kali ini cukup simpel, hanya menunjukkan sebuah alam yang indah, menggambarkan harapan saya atau mungkin seluruh manusia yang mendambakan kondisi seperti itu,” imbuhnya.

 

Diketahui, pada pameran yang berlangsung selama enam hari itu juga diadakan kegiatan lain, seperti melukis On The Spot (OTS) dan sarasehan sebagai ruang diskusi bagi para perupa untuk menggali lebih dalam makna ‘Doa Kasih Rupa’.

 

Pembukaan pameran ‘Doa Kasih Rupa’ di depan Galeri Prabangkara dalam komplek Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya. Foto : Vivin

Kritik yang Terselubung dalam Karya

Di sisi lain, Wakil Ketua Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT), Taufik Hidayat atau yang akrab disapa Cak Monyong, menilai pameran yang diisi berbagai karya ini adalah bentuk pemberontakan yang terselubung. Baginya, seni selalu memiliki cara untuk mengkritik, bahkan tanpa harus berteriak.

 

“Kalau saya lihat lukisannya, ini semuanya sebenarnya berontak. Cuma caranya halus, tidak frontal. Tapi tetap tajam,” ujar Cak Monyong.

 

Cak Monyong menyoroti, bahwa seni sering kali menjadi refleksi dari kondisi sosial yang terjadi di sekitar kita. Ia percaya bahwa seniman adalah kelompok yang tidak bisa dipisahkan dari perlawanan terhadap sistem yang menekan.

 

“Seniman selalu siap di garda depan untuk memberontak atas sistem, karena seniman tidak mau bodoh. Karena itulah, mereka sering ditekan, dijauhkan, bahkan ‘dibully’ secara ekonomi,” tegasnya.

 

Cak Monyong mengkritik, bahwa dunia seni rupa sering kali tidak murni sebagai ekspresi, tetapi juga sebagai alat permainan ekonomi bagi mereka yang berkepentingan.

 

“Di setiap sektor pasti ada mafioso, termasuk di seni rupa. Siapa yang bermain di wilayah ini, dia kaya. Bukan rahasia lagi sebenarnya bahwa banyak pencucian uang yang dilakukan melalui dunia seni, entah itu dari lukisan maupun barang antik,” katanya.

Selanjutnya, Cak Monyong juga menyinggung bagaimana media sering kali membungkam kritik, menggarisbawahi bahwa bahkan pilar yang sering dianggap sebagai watchdog atau anjing penjaga, juga tudak luput dari mafioso.

 

“Banyak wartawan lapangan menulis, tapi kalau redaksi sudah disogok iklan, tulisan mereka yang pedas-pedas juga tidak akan naik, atau kalau direktur medianya sudah punya kepentingan, kritik sekeras apa pun tetap akan tenggelam,” paparnya.

 

Bagi Cak Monyong, kondisi tersebut ikut andil dalam mempersempit ruang bagi seniman dan intelektual yang ingin menyuarakan kegelisahan mereka. Namun, justru dalam keterbatasan inilah seni menemukan jalannya sendiri, melebur dalam kanvas, menyelinap dalam warna, dan tetap berbicara meski dalam diam.(Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Polrestabes Surabaya Bongkar Peredaran Narkotika Senilai 10,9 Milliyar Selamatkan 61 Ribu Jiwa

Jum Feb 7 , 2025
Liputan Cyber || Surabaya Polrestabes Surabaya Polda Jatim terus menunjukkan komitmennya dalam memberantas peredaran dan penyalahgunaan narkoba.   Dalam periode 21 Oktober 2024 hingga 6 Februari 2025, melalui Program Asta Cita, aparat berhasil mengungkap 236 kasus narkotika, dengan total 323 tersangka yang diamankan.   Dari jumlah tersebut, 113 di antaranya […]