Liputan Cyber || Surabaya
Pada Kamis, 6 Juni 2024 warga korban pengusiran paksa di Rusunawa Gunungsari melakukan aksi damai berupa aksi cor kaki di depan Gedung Grahadi Surabaya. Aksi ekstrem itupun masih diabaikan pemerintah. Seakan pemerintah sudah tak peduli lagi dengan kelangsungan hidup warga.
Aksi itu berlangsung selama kurang lebih 7 jam. Warga bertahan dengan kondisi tenda seadanya dan 4 warga yang kakinya dicor. Faisol, salah satu korban pengusiran menjelaskan bahwa 4 warga korban terdampak mengecor kaki sebagai bentuk ekspresi dari puncak kekesalan terhadap pemerintah karena selama ini mereka tak peduli terhadap korban pengusiran. “Aksi cor kaki adalah aksi yang dilakukan setelah kesekian kali aksi diabaikan. Pemerintah telah menutup mata dan tidak mau peduli kepada kami,” tegasnya.
Aksi itu juga dapat dimaknai sebagai sikap warga untuk menuntut tanggung jawab negara dan tidak akan pergi sampai masalah ini diselesaikan. Dengan kata lain, cor kaki ini dilakukan sebagai simbol bahwa warga akan terus bertahan dan terus berjuang hingga semua warga bisa kembali ke hunian yang layak.
Sebelum puncak kekesalan dari warga, beberapa upaya telah dilakukan. Namun, tidak sesuai dengan keinginan warga. “Warga telah melakukan aksi persuasif salah satunya menemui wagub, namun hasilnya nihil” kata Faisol.
Ia juga menjelaskan jika aksi tersebut memiliki makna yang dekat dengan warga korban pengusiran. “Aksi cor kaki tadi mengartikan bahwa warga butuh bangunan yang layak sebagai tempat tinggal tetap, bukan Liponsos. Karena warga bukan gelandangan atau pembuat onar,” ucapnya.
Hingga sekitar jam 20.00, warga tetap bertahan di titik aksi. Namun, pada akhirnya warga menarik barisan karena mengalami beberapa intimidasi dari aparat. Warga memutuskan untuk menarik diri untuk menghindari tindakan represif oleh polisi.
Ketika aksi pun mereka mendapat ultimatum aparat untuk menyudahi aksi secepat mungkin. Aparat keamanan mengancam bahwa jika warga tak menyudahi aksinya, maka warga akan diusir secara paksa dengan cara-cara represif. “Karena ada tindakan represif dari aparat, akhirnya kita membubarkan aksi dengan terpaksa,” ujar Faisol.
Aksi seperti itu juga belum bisa membuat Pemprov Jatim dan Pemkot Surabaya merespon. Hingga malam hari, warga belum juga mendapat ajakan dialog ataupun penyelesaian dari pemerintah. “Enggak ada sama sekali. Mereka buta dengan penderitaan rakyatnya. Mereka sangat buta, mereka sangat tuli sama penderitaan rakyatnya,” tegasnya.
Perjuangan ini masih akan terus berlanjut. Berlanjut hingga semua warga korban terdampak mendapatkan hunian layak. Warga juga akan melakukan pengaduan ke pemerintah pusat hingga mengangkat isu ini ke dunia internasional agar banyak orang tahu bahwa ada pelanggaran yang terjadi dan masih diabaikan pemerintah. “Ya kita masih banyak aksi-aksi kedepannya, termasuk gugatan hukum,” kata Faisol.
Sejak pengusiran paksa pada Kamis, 16 Mei 2024 di tempat hunian warga di Rusunawa Gunungsari, warga korban terdampak tetap memilih untuk bertahan (tidur atau bertempat tinggal) di pendopo Rusunawa Gunungsari. Ini bentuk perjuangan paling nyata untuk warga bisa kembali ke huniannya masing-masing.
Terhitung sejak pengusiran paksa, sudah 23 hari warga bertahan. Warga bertahan seadanya. Beralaskan tikar, makan dari dapur umum swadaya, tak bisa beraktivitas normal, hingga akses air bersih yang terbatas karena pengelola rusun telah memutus akses air di fasilitas mandi, cuci, kakus (MCK). Akses air bersih sudah diputus sejak Jumat, 31 Mei 2024 oleh pengelola rusun. Bahkan akses air untuk musholla juga diputus.
Dengan kondisi seperti itu, warga mengalami beberapa gangguan kesehatan. Hal tersebut disampaikan oleh Faisol. “Dampak kesehatan warga terkena masuk angin, diare, demam tinggi, tidur tidak nyenyak karena lingkungan tidak kondusif, beberapa juga ada yang masuk rumah sakit,” ucapnya.
Selain gangguan kesehatan, warga korban terdampak juga mengalami rasa traumatik. Tak hanya orang dewasa, namun rasa traumatik itu juga dirasakan oleh anak-anak dan korban terdampak lansia.
“Dampak psikologis sangat dalam, kalaupun bunuh diri diperbolehkan, kami akan bunuh diri. Anak-anak trauma saat pengusiran yang represif oleh aparat sehingga tidak mau bersekolah. Pengusiran dilakukan oleh aparat polisi, satpol pp dan preman sewaan,” pungkas Faisol.
Tinah, salah satu warga menjelaskan bahwa pengusiran paksa yang lalu juga menyasar ke anak-anak. Bahkan mengakibatkan luka memar akibat pemukulan dan dorongan ketika aparat gabungan memaksa masuk ke area Rusunawa Gunungsari.
Dampak psikologis mereka cukup mendalam karena represifitas aparat gabungan. Banyak yang merasa ketakutan dan tidak tenang ketika bertemu dengan aparat keamanan. Hingga harapan untuk melanjutkan hidup pun warga terdampak juga ragu. “Saya merasa was was dan takut jika melihat banyak aparat. Selain itu saya merasa trauma dan berdebar tiap kali menghadapi aparat. Saya juga merasa putus asa, kira-kira kedepannya apa kami punya kesempatan untuk hidup layak dan punya tempat tinggal. Saya di Stren Kali sudah diusir apa saya harus menggelandang dengan anak saya. Padahal saya punya Kartu Keluarga, saya punya identitas, tapi kok pemerintah segitunya,” ujar Tinah.
Sudah hampir satu bulan, belum ada penyelesaian cocok yang diberikan pemerintah. Bahkan selama ini warga terdampak bertahan di Pendopo Rusunawa Gunungsari tanpa perlindungan pemerintah. Yang diinginkan warga hanya sederhana, yaitu mendapatkan haknya untuk mendapatkan hunian yang layak. Itu karena hunian yang layak juga bisa memberikan kehidupan yang aman dan tenang. “Saya ingin punya tempat tinggal yang layak. Dimanapun asal tidak di Liponsos karena saya merasa punya hak tinggal setelah rumah saya di Stren Kali digusur,” tegas Tinah.
Pemerintah seharusnya memperhatikan dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 tepatnya dalam pasal 28 H ayat (1) yang mengatur “setiap orang berhak hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan”. Selain itu, dalam Undang Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, tepatnya dalam pasal 40 mengatur bahwa “setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.”
Berdasarkan hal tersebut di atas, warga eks Stren Kali Jagir yang terdampak pengusiran menyatakan:
Menolak relokasi ke Liponsos Surabaya karena berdampak pada akses pendidikan anak, pekerjaan, kesejahteraan, kesehatan dan tempat tinggal yang layak;
Warga eks Stren Kali Jagir terdampak pengusiran dapat kembali menempati unit di Rusunawa Gunungsari;
Memberikan keringanan pembayaran tunggakan sewa Rusunawa Gunungsari dan;
Evaluasi pengelolaan Rusunawa Gunungsari karena telah dihuni oleh warga yang tergolong secara ekonomi mampu, kaya dan bukan MBR. (Redaksi)