Liputan Cyber || Jakarta
Dunia advokat terguncang! Kejaksaan Jawa Timur telah menangkap satu tersangka advokat bernama Lisa Rahmat dalam kasus penyuapan. Lisa Rahmat selaku seorang advokat, turut melakukan konspirasi untuk prmbebasan dari jerat hukum terkait kasus pembunuhan terhadap Dini Sera Afrianti oleh Gregorius Ronald Tannur dengan cara melanggar hukum.
Ketua Umum Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI) Luthfi Yazid menyoroti peristiwa yang menggemparkan itu saat menyampaikan pidato dalam acara pelantikan pengurus Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Provinsi Sulawesi Selatan, Minggu (3/11/2024).
Luthfi Yazid berharap agar ke depan tidak terulang lagi kasus-kasus serupa sebagaimana dialami advokat senior OC Kaligis, Jaksa Pinangki Sirna Malangsari, Polisi Jend (P) Joko Susilo, mantan Kabareskrim Jend (P) Suyitno Landung, mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, Hasbi Hasan, mantan Hakim Agung Gazalba Saleh, dan Hakim Agung Sudradjad Dimyati.
Awalnya yang punya masalah hukum adalah Gregorius Ronald Tannur, anak seorang mantan anggota DPR dari PKB yang terlibat perkara pembunuhan pacarnya, Dini Sera Afrianti, hingga tewas. Tannur ini menyewa lawyer yang bernama LR.
“Seorang klien yang mempunyai persoalan hukum pastilah bercerita kepada pengacaranya. Seorang pengacara (sebagai profesi mulia, officium nobilee) yang baik haruslah mendengarkan apa yang disampaikan kliennya, kemudian memetakan persoalan hukumnya, memberikan analisis hukum dan memberikan solusi-solusi hukum yang berpatokan pada prinsip kebenaran dan keadilan,” kata Luthfi dalam pernyataan persnya, Senin, 4 November 2024.
Sebagai informasi, terkait dengan kasus Tannur tersebut, tiga orang hakim di Pengadilan Negeri Surabaya yaitu Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo juga ditangkap karena diduga menerima suap, gratifikasi.
Bahkan seorang mantan pejabat MA bernama Zarof Ricar (ZR) diduga terlibat dalam permufakatan jahat sehingga ia juga dicokok. Saat penggeledahan di rumahnya, ditemukan uang yang mencapai hampir Rp1 trilliun dan emas batangan seberat 51 kg. Perkara ini disorot publik dan media setidaknya karena tiga hal.
Pertama, para hakim baru saja menuntut kenaikan kesejahteraan dan gaji hakim dengan melakukan mogok nasional, cuti bersama tidak mengadakan persidangan selama beberapa hari. Para hakim yang tergabung dalam Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) mendatangi Kemenkumham, MA dan DPR RI untuk menyampaikan aspirasinya.
Kedua, di lembaga pengadil tertinggi ini baru saja dipilih Ketua Mahkamah Agung yang baru, yaitu Prof Sunarto. Kepada Ketua MA yang baru ini, banyak ditumpukan harapan perbaikan dan pembenahan MA secara total. Apakah Ketua MA yang baru akan sanggup mengatasi persoalan dan kemelut yang ada saat ini?
Ketiga, jumlah cokokan Kejaksaan yang mencapai angka yang fantastis itu. Penangkapan atas advokat dan tiga hakim di PN Surabaya itu disertai barang bukti yang nilainya mencapai puluhan milliar rupiah.
Sementara di rumah ZR ditemukan dan disita uang dalam jumlah hampir Rp1 trilliun, setara dengan jumlah uang korban jamaah umrah First Travel yang jumlah korbannya 63 ribu orang yang ditipu oleh pemilik First Travel.
Sebab itu, tidaklah heran manakala banyak tuntutan agar kejadian ini dijadikan momentum untuk membasmi mafia peradilan dan mewujudkan keadilan untuk semua. Luthfi Yazid mengingatkan bahwa pendapat yang hanya menumpukan kesalahan kepada hakim dan MA bukanlah pandangan atau pendapat yang adil.
“Yang benar adalah semua Aparat Penegak Hukum (APH) termasuk pemerintah harus introspeksi dan berbenah agar pencari keadilan tidak dirugikan. Kepolisian, Kejaksaan, kalangan advokat, dan Korps Kehakiman semuanya dapat menjadi bagian dari jaringan mafia peradilan,” ujarnya.
Komisi Yudisial dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kurang “bergigi” semuanya harus menjadikan peristiwa ini sebagai pelajaran sangat mahal dan segera melakukan total football reparation, pembenahan total, imbuh Lutfhi.
Khusus KPK, 10 calon komisioner KPK dan 10 orang calon Dewan Pengawas KPK yang belum diuji kelayakannya oleh DPR RI harus segera diseleksi. Mereka mesti dipilih yang memiliki rekam jejak serta integritas yang tidak cacat.
“DPR harus memilih calon yang berintegritas dan terbaik dari mereka. DPR juga harus terbebas dari kepentingan politik partisan dalam melaksanakan tugasnya,” pungkas Luthfi Yazid. (TIM/Red)