Liputan Cyber – Jakarta
Dibubarkannya Front Pembela Islam (FPI) secara de jure maupun de facto tidak menjamin bahwa aktivitas FPI dan simpatisannya akan serta-merta berhenti. Sejak 21 Juni 2019 sebagai suatu organisasi kemasyarakat, secara de jure FPI telah dianggap bubar. Dasar dari itu adalah tak kunjung diperpanjangnya surat keterangan terdaftar (SKT) Kemendagri sampai saat ini. Kendati demikian, para anggotanya tetap melakukan berbagai aktivitas dengan tanpa landasan hukum.
Aktivitas yang dilakukan anggota FPI pasca21 Juni 2019 tanpa landasan hukum, bisa saja dikategorikan sebagai kegiatan yang illegal. Apalagi dalam salah satu kegiatannya beberapa waktu lalu di tengah situasi Pandemi COVID-19, jelas melanggar protokol Kesehatan dan hukum yang berlaku dalam situasi pandemi ini. Ditambah lagi, serangkaian aktivitas FPI yang cenderung meresahkan masyarakat dan sering menimbulkan provokasi yang mengancam persatuan Bangsa Indonesia. Ini didasari oleh paham FPI yang cenderung mengarah pada intoleransi dan bahkan terorisme. Oleh karena hal itu, pada 30 Desember 2020 (penghujung tahun 2020), pemerintah akhirnya memutuskan melarang berbagai aktivitas dan penggunaan atribut FPI secara de facto.
Pelarangan itu lantas membuat FPI mencari cara dan jalan untuk hadir kembali, dengan paham intolerannya dan cenderung mengarah pada terorisme itu, sangat mungkin bagi FPI bertransformasi menjadi ormas atau gerakan dengan paham yang sama. Perubahan bentuk berbagai aktivitas maupun atribut FPI bisa terjadi dalam bentuk yang sangat mendasar dalam aktivitas masyarakat. Akan tetapi, substansi paham FPI yang intoleran dan cenderung mengarah pada terorisme tetap tidak akan berubah. Hal ini yang perlu menjadi waspada kita bersama. Demi menjaga keberagaman Indonesia yang harmonis dan toleran serta keamanan dan stabilitas negara. Waspada terhadap bentuk baru radikalisme pasca pembubaran FPI. (Red)